KOORDINASI & SUPERVISI : APA PENTINGNYA?

Pendahuluan

Koordinasi dan Supervisi memiliki tantangan yang sangat besar, terutama berhubungan dengan instansi penegak hukum di kepolisian dan kejaksaan. Koordinasi kasus contohnya yang sempat hilang di tahun 2008 hingga 2011, sebelum muncul lagi di tahun 2012. Sama halnya dengan supervisi kasus yang sempat tidak ada di tahun 2009 dan 2010. Akan tetapi yang paling sedikit angkanya adalah pengambilalihan, yang hanya terdiri dari 2 perkara, itupun hanya terjadi di tahun 2014 saja. Angka minimal dalam data diatas bukan menunjukkan minimnya perkara korupsi yang harus diambil alih, akan tetapi harus selektif menunjukkan karakter kewenangan “pengambilalihan” perkara yang tidak mudah, dan rawan menimbulkan konflik antara KPK dengan instansi kepolisian dan kejaksaan.

Lebih singkatnya, koordinasi dan supervisi yang terdapat dalam UU KPK masih belum maksimal dijalankan. Dapat dipahami bahwa tugas ini tidak ringan, akan tetapi salah satu kesuksesan dalam pemberantasan korupsi  tidak hanya pada aspek penindakan KPK, tapi juga dalam hal membantu reformasi di kepolisian dan kejaksaan.[1] Mengenai persoalan koordinasi dan supervisi ini, perlu juga memahami pendapat oleh Dedi Haryadi yang menyoal kaliber kepemimpinan KPK sendiri untuk lebih memaksimalkan fungsi koordinasi dan supervisi dalam realitanya.[2]

 

Pentingnya Koordinasi Dan Supervisi Dalam Pemberantasan Korupsi

Pada dasarnya koordinasi dan supervisi menjadi tugas dari KPK. Namun tugas koordinasi dan supervisi adalah tugas utama yang menjadi tujuan kelahiran dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Akan tetapi sampai saat ini dukungan legislasi masih sangat kurang. Korupsi keterkaitan dengan masalah ruang gerak yang cukup luas dan juga mengenai koordinasi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan pihak Kepolisian serta Kejaksaan sebagai sistem dalam Peradilan Pidana yang sulit dilakukan. Oleh sebab itu, apabila upaya penanggulangan dapat ditempuh melalui penegakan hukum, maka harus dilakukan analisis dan pembenahan terhadap semua peraturan Undang-Undang terkait dengan tindak pidana korupsi. Pada hal ini tentu saja harus dilakukan demi kemajuan pelaksanaan koordinasi dan supervisi penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu faktor penegakan hukum dalam pelaksanaan koordinasi dan supervisi jadi penyebab yang menjadikan tugas koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi belum memadai dalam pelaksanaannya. Apabila dilihat dari sudut pandang Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas koordinasi dan supervisi diakui sudah dijalankan dan mengalami perubahan yang signifikan dari tahun ke tahun, akan tetapi dari sisi penyidik, baik itu penyidik Polri ataupun penyidik kejaksaan tugas belum sesuai harapan. Bahkan tugas ini dijalankan apabila ada laporan dari masyarakat.

Pada tahap penegakan hukum yang harus dilakukan dalam proses penanganan pidana korupsi seperti pada tahap penyidikan maka Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai hak untuk berkoordinasi dengan lembaga penegakan hukum yang sedang menangani kasus pidana korupsi tersebut. Pelaksanaan koordinasi itu meliputi koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan republik indonesia, Inspektorat pada kementrian, dan juga lembaga pemerintah non kementerian. Dualisme sistem penyidikan ini dibutuhkan di sisi lain menimbulkan kompetisi yang positif namun disisi lain menimbulkan rasa tidak percaya diri pada lembaga yang kinerjanya kurang maksimal dalam menangani pidana korupsi. Selain itu agar tidak terjadi tumpang tindih kekuasaan,maka perlu dilakukan secara hati-hati. Oleh karena itu, tugas supervisi dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam struktur kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi tugas koordinasi dan supervisi diemban oleh suatu unit, yang merupakan unit koordinasi dan supervisi yang berada dibawah naungan deputi bidang penindakan. Walaupun tugas koordinasi dan supervisi adalah tugas penting dan darurat namun dalam struktur kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak ditaruh secara terpisah dalam bidang pencegahan, penindakan, informasi dan data, pengawasan dan Sekretaris Jenderal.

Para penegak hukum harus paham mengenai pentingnya tugas yang sudah diberikan kepadanya dalam memberantas korupsi, akan tetapi mereka tidak bisa mencampur tangan dengan kekuatan apapun yang dapat merusak citra sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang sudah ditugaskan untuk memberantas korupsi. Para penegak hukum tersebut memiliki kesadaran untuk menerapkan pemerintahan yang baik, akan tetapi hal itu tergantung pada niat dan akhlak mereka, yang benar-benar tercermin dari tingkah laku dan hasil kerja mereka. Masyarakat sendiri akan menilai terhadap kinerja mereka, dan penilaian tersebut akan mempunyai pengaruh besar dalam meningkatkan kualitas hukum yang berlaku di masyarakat.

Dalam meningkatkan kualitas sebuah lembaga seharusnya tidak tergantung pada besarnya sebuah gaji akan tetapi harus lebih fokus pada tanggung jawab lembaga tersebut dalam melaksanakan visi dan misinya. Di Era sekarang ini gaji dari pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi jauh lebih besar dibandingkan dengan aparat Kepolisian, perbedaan dari segi gaji ini secara umum tentu mempunyai pengaruh terhadap semangat untuk menjalankan tugas mereka. Akan tetapi seharusnya tidak mengurangi semangat para penegak hukum lainnya. Motivasi dalam melaksanakan tugas seharusnya langsung pada tuntutan yang konsisten aparat guna dapat melaksanakan pemerintah yang baik. Pemerintahan yang baik bukan hanya bersih, transparan, dan bertanggung jawab semata, akan tetapi tediri dari tiga pilar yang meliputi sifatnya pasif, untuk meningkatkan dan memajukan kehidupan masyarakat, selain itu perlu ditambah dengan pilar yang bersifat dinamis yaitu dengan pilar responsif, sigap, solid, fleksibel, terintegrasi, dan inovatif.

Para lembaga-lembaga ini berarti bahwa pemerintahan yang baik tidak hanya untuk menjamin tercapainya sistem pemerintahan yang bersih, akan tetapi juga pemerintahan yang mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  Dengan adanya pembebasan dari korupsi, tentu saja akan meningkatkan pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakatnya, karena kekayaan alam Indonesia sangat kaya tanpa diolahpun sudah dapat menghasilkan. Dengan adanya kontrak kerja sama dengan perusahaan asing Pemerintah Indonesia dari penggalian kekayaan alamnya sudah dapat mengambil keuntungan banyak. Apalagi disertai dengan kemampuan menggerakan lembaga-lembaganya tentu akan lebih cepat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

 

Konklusi

Dari pembahasan materi di atas dapat ditarik konklusi bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mengkoordinasi sekaligus mensupervisi lembaga-lembaga penegakan hukum yang ada agar menjadi lembaga-lembaga yang kuat dan mampu menjalankan tugas sebagai penegakan hukum dengan baik. Selain itu koordinasi dan supervisi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi mencakup langkah-langkah untuk mendorong dilaksanakannya percepatan reformasi di kejaksaan dan kepolisian. Sehingga pemberantasan korupsi tidak dapat digantungkan semata-mata pada penindakan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, melainkan semangat kerja dalam pemberantasan korupsi harus ditularkan Komisi Pemberantasan Korupsi kepada institusi penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan dan kepolisian. Oleh karena itu, adanya Komisi Pemberantasan Korupsi harus sesuai dengan semangat dalam pembentukannya, karena dalam rangka untuk mengisi kekosongan kepercayaan masyarakat pada lembaga penegakan hukum yang ada termasuk kepolisian dan kejaksaan.


[1] Lebih jauh soal persoalan Koordinasi dan Supervisi ini bisa dibaca pada: Febri Diansyah, Emerson Yuntho, Donal Fariz, Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (2011): Marie Chene, Coordination Mechanisms of Anti Corruption Institutions, www.U4.no, 28 September 2009.

[2] Dedi Haryadi, Optimalisasi Fungsi Koordinasi dan Supervisi KPK, Kompas, 23 November 2015.

Posting Komentar

1 Komentar