FIQIH PANDEMI COVID-19

Pandemi adalah epidemi penyakit yang menyebar di wilayah yang luas, misalnya beberapa benua, atau di seluruh dunia. Fiqih merupakan dasar untuk mengetahui tata cara menjalankan ibadah. Sedangkan ibadah adalah ketundukan atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan yang maha Esa. Ibadah meliputi semua bentuk perbuatan manusia di dunia, yang dilakukan dengan niat mengabdi dan menghamba hanya kepada Allah SWT. Semua tindakan orang mukmin yang dilandasi dengan niat yang tulus untuk mencapai ridho Allah SWT dipandang sebagai ibadah. Sesuai dengan, Firman Allah SWT dalam QS. Al-Dzariyat Ayat 56 yang berbunyi :

ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ الْجِÙ†َّ ÙˆَالْاِÙ†ْسَ اِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُÙˆْÙ†ِ

Artinya : Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat Ayat 56)

Dari surat di atas dapat dijelaskan bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya. Beribadah dalam arti menyembah, mengabdi, menghamba, tunduk, tata dan patuh terhadap segala yang dikehendaki-Nya. Ketundukan, ketaatan dan kepatuhan dalam kerangka ibadah tersebut harus menyeluruh dan total, baik lahir maupun batin. Tujuan ibadah adalah untuk mencari ridha Allah Swt.

Di masa pandemi covid-19 pelaksanaan ibadah terhambat, tidak terkecuali pelaksaan ibadah sholat jum’at bagi umat Islam yang berjenis kelamin laki-laki, baligh, berakal, sehat (tidak sakit atau tidak terhalang uzur), muqim (bukan dalam perjalanan) hukumnya fardhu ‘ain. Ketika ada uzur seperti sakit, hujan lebat, ataupun pandemi maka kewajiban shalat Jumat gugur. Terkait merebaknya virus Covid-19, diharamkan bagi yang terpapar virus Covid-19 menghadiri shalat Jumat (termasuk shalat jamaah) dengan dalil hadits, “Jangan yang sakit bercampur-baur dengan yang sehat” (HR. al-Bukhari & Muslim). Hadits lain, “Jika kalian mendengar kabar tentang merebaknya wabah Tha’un di sebuah wilayah, janganlah kamu memasukinya. Dan, jika kalian tengah berada di dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya”. (HR. al-Bukhari & Muslim). Bagi yang berhalangan shalat Jumat, ia menggantinya dengan shalat dhuhur empat rakaat. Adapun menggantinya dengan shalat Jumat di rumah itu tidak dibolehkan dengan pertimbangan bahwa tujuan shalat Jumat adalah berkumpulnya banyak orang di sebuah tempat (masjid), sebagaimana makna semantik dari kata jum’ah yang berarti “berkumpulnya banyak orang” (ijtima’ alnas). Jumatan di rumah juga tidak dibolehkan menurut Imam Abu Hanifah karena rumah bukanlah tempat umum. Imam Malik juga tidak membolehkan jumatan di rumah dengan mensyaratkan jumatan harus di masjid. Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad juga tidak membolehkan jumatan di rumah karena mensyaratkan jumlah yang hadir minimal 40 orang yang berkategori wajib jumatan.

Dengan begitu, yang berhalangan shalat Jumat karena ada uzur seperti virus Covid-19 ini menggantinya dengan shalat dhuhur empat rakaat di rumah. Pahalanya sama dengan pahala shalat Jumat. Dalilnya adalah hadits, “Jika seorang hamba tertimpa sakit, atau tengah bepergian, maka ia dicatat memperoleh (ganjaran) serupa ketika ia melakukannya dalam kondisi muqim dan sehat”. (HR. al-Bukhari).

Sedangkan, tidak jumatan bagi yang wajib beribadah sholat jumat tanpa uzur yang dibenarkan oleh syariat adalah tergolong dosa. Sejumlah riwayat hadits menyebutkan tentang itu, di antaranya “Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat jumat karena meremehkan, niscaya Allah SWT menutup hatinya”. (HR. al-Turmudzi, al-Thabarani, dan al-Daruquthni). Hadits lain menyebutkan, “Siapa yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali tanpa uzur, niscaya ia tergolong orang munafiq” (HR. al-Thabarani). Kita perlu mencermati redaksi kedua hadits tersebut terutama pada kata tahawunan biha dan bila udzr. Keduanya menggariskan bahwa meninggalkan shalat Jumat yang dimaksudkan adalah karena “meremehkan” dan “tanpa uzur”. Ketika tidak jumatan bukan karena meremehkan atau karena adanya uzur, maka itu bukan yang dimaksud dalam hadits tersebut.

Beberapa uzur yang membolehkan tidak jumatan adalah hujan lebat yang sekiranya dapat membasahi pakaiannya dan menghalanginya melakukan shalat, salju, cuaca yang sangat dingin, sakit yang menyulitkannya ikut berjamaah di masjid, kekhawatiran adanya gangguan keselamatan jiwa, kehormatan diri, dan harta bendanya jika ia ikut jumatan. Covid-19 tergolong salah satu uzur karena kekhawatiran menulari atau tertular virusnya ketika ikut jumatan yang notabene mengharuskan dilaksanakan berjamaah. Jangankan tiga kali, lebih dari itu pun jika memang kondisi merebaknya Covid-19 belum berubah ke situasi yang aman, maka tidak melaksanakan jumatan diganti dengan shalat dhuhur empat rakaat di rumah masingmasing. Ini adalah keringanan atau dispensasi (rukhshah) dalam syariat Islam jika terdapat uzur.

Selain, persoalan sholat jumat pada masa pandemi di atas masih terdapat persoalan lain mengenai sholat berjamaah di masjid pada masa pandemi covid-19, yang pada dasarnya hukum dasar shalat berjamaah adalah sunnah mu’akkadah. Adapun menjaga jiwa dari tertularnya virus yang mematikan hukumnya wajib. Memprioritaskan yang wajib daripada yang sunnah adalah lebih baik. Jika ada yang tetap melaksanakan shalat berjamaah di masjid dengan jarak makmum berjauhan dengan niat menghindari kontak fisik, itu dapat mengurangi keutamaan shalat jamaah kita. Shalat berjamaah mensyaratkan rapih dan rapatnya shaf (taswiyah al-shufuf).

Ulama Mazhab Hanafi, Maliki, Syaf i’i, dan Hanbali menyatakan hukum taswiyah shufuf adalah mustahab, bukan wajib, sehingga meninggalkan kerapihan dan rapatnya shaf dalam shalat jamaah tidak membatalkan shalat. Salah satu argumentasinya adalah lafal hadits “kerapihan shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat” (HR. al-Bukhari). Kata tamam yang berarti “kesempurnaan” adalah bersifat tambahan, di luar dari yang semestinya, sehingga tidak membatalkan shalat jika meninggalkannya. Meski ada ulama yang membolehkan shaf jamaah yang renggang dalam kondisi darurat, namun sikap hati-hati kita harus lebih diutamakan. Banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan semisal belum adanya jaminan siapa yang sudah atau tidak tertular dari jamaah yang hadir, dan adanya pengidap yang tanpa gejala, dan selainnya. Kita perlu memahami dengan baik maksud hadits “Hindarilah wabah penyakit seperti larimu (menghindari) kejaran macan” (HR. al-Bukhari). Kita diminta menghindari semaksimal secara serius penyakit, terlebih virus Covid-19 yang sangat mudah menular dan mematikan ini.

Posting Komentar

0 Komentar