PANDANGAN HUKUM WARIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM, ADAT DAN POSITIF (NEGARA)

 

Dalam hukum kewarisan kita dapat melihat dari berbagai pandangan dan perspektif, mulai dari pandangan hukum Islam, hukum adat, maupun hukum positif (negara). Hukum kewarisan mengalami perkembangan prinsip dan dasar hukum sesuai dengan perspektif yang dibawakan, ada yang menggunakan prinsip syari’ah, prinsip keadilan dan humanisme serta kekeluargaan. Karena itu banyak pandangan terkait hukum kewarisan, di mana msyarakat umum yang masih awam akan terlalu rumit jika mengetahui dan tidak menahu bagaimana konklusi yang didapatkan dari kombinasi tiga pandangan hukum kewarisan. Oleh karena itu, di sini akan dibahas mengenai hukum kewarisan dari tiga perspektif, mulai dari perspektif hukum Islam, hukum adat, dan hukum negara.

                          

A.      Pandangan Waris Dalam Hukum Islam

            Sesungguhnya kepemilikan individu dalam islam bisa didapat dari berbagai macam cara, salah satunya adalah kepemilikan individu dengan sebab waris, jika dikatakan sebagai hak kepemilikan individu, maka seseorang berhak menggunakannya secara produktif, memanfaatkannya, memindahkan kepemilikannya, serta melindunginya dari pemubaziran. Di sisi lain, pemilik juga memiliki kewajiban yang harus diemban terhadap harta tersebut seperti menyucikannya dengan zakat, menyedekahkan kepada fakir miski, anak yatim dan orang yang membutuhkan.

Al-Mawaarits, hukmul waarits, atau al faraaid, sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut waris dalam hukum Islam. Secara bahasa, waris berasal dari bahasa arab “irtsu” yang berarti pusaka, harta peninggalan mayat. Sedangkan menurut istilah, ilmu faraodh atau yang mempelajari tentang waris artinya adalah cabang dari ilmu fiqih yang berkaitan dengan masalah perhitungana harta kepada setiap pemiliknya yang berhak dari harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Dalam KHI pasal 171 a dijelaskan bahwa waris sendiri merupakan pemindahan hak kepemilikan harta dari pewaris kepada ahli waris dengan bagian tertentu.

Selain sumber hukum, hukum kewarisan dalam islam memiliki asas-asas. Antara lain :

a.         Asas Ijbari, pengalihan harta dari pewaris kepada ahlo waris yang berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak kedua belah pihak.

b.        Asas Bilateral, seorang ahli waris menerima warisan dari kedua belah pihak, baik dari pihak keturunan laki-laki maupun perempuan.

c.         Asas Individual, harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris secara perorangan.

d.        Asas Keadilan Berimbang, ahli waris mendapatkan hak waris sesuai dengan kewajiban yang dipikulnya.

e.         Asas Semata Akibat Kematian, harta waris dapat dibagikan dan dimiliki oleh ahli waris setelah adanya atau terjadinya kematian pewaris. Jadi, tidak adanya pembagian waris atas dasar wasiat yang dibuat pewaris ketika masih hidupnya.

Ketentuan hukum kewarisan dalam islam ini yaitu adanya pewaris (orang yang telah meninggal dan meninggalkan hartanya), harta yang diwariskan, serta ahli waris ( seseorang yang akan menerima hak waris). Di dalam Al Quran telah dijelaskan dan ditetapkan bagian-bagian dari masing-masing ahli waris dalam Qs. An Nisa ayat 11:

يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ ۚ فَاِنْ كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۚ وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۗ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهٗ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهٗ وَلَدٌ وَّوَرِثَهٗٓ اَبَوٰهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهٗٓ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْۚ لَا تَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

Artinya : Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Berikut ini ahli waris dan bagian-bagiannya:

1.        Bagian setengah (1/2) yakni ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut adalah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah.

2.        Bagian seperempat (1/4) ada dua yakni suami dan istri.

3.        Bagian seperdelapan (1/8). Dari sederet ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian warisan seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau rahim istri yang lain.

4.        Bagian dua per tiga (2/3). Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga dari harta peninggalan pewaris ada empat dan semuanya terdiri dari wanita; Dua anak perempuan (kandung) atau lebih, dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih, dua orang saudara kandung perempuan atau lebih, serta dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

5.        Bagian sepertiga (1/3), yang berhak mendapatkannya adalah ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.

6.        Bagian seperenam (1/6). Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam, ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.

Ahli waris di atas yang telah disebutkan di atas berhak mendapatkan hak masing-masing jika tidak adanya penghalang (hijab). Baik hijab nuqshan maupun hijab hirman. Serta mereka tidak terhalangi oleh sebab-sebab yang menjadikannya gugur untuk mendapatkan harta waris, di antaranya:

a)        Ahli waris berstatus sebagai seorang budak, maka ia tak bisa mewarisi harta pewaris

b)        Sebab pembunuhan. Seorang ahli waris tidak dapat mendapatkan hak warisnya jika ia mencoba untuk membunuh pewaris.

c)        Perbedaan agama, Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apapun agamanya. Hal ini telah diterangkan Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun idealnya dalam ilmu fikih memang selalu ada perbedaan pendapat sehingga produk hukum yang dihasilkan pun menjadi beragam. Pertama, ulama' klasik sepakat bahwa perbedaan agama menjadi mahjub atau penghalang. Hadis Nabi Saw. di atas  juga menjelaskan bahwa orang muslim dan non muslim tidak bisa saling mewarisi. Kedua pemikir kontemporer seperti asgar ali menyebutkan jika pembatasan syari'ah dibatasi oleh garis perbedaan agama sama saja dengan diskriminasi terhadap HAM. Ketiga menurut KHI dalam pasal 171 b dan c menyebutkan bahwa muwaris dan ahli waris haruslah beragama Islam.

Beberapa solusi untuk menyelesaikan masalah dalam hukum kewarisan islam dengan cara:

1)        ‘Aul, dalam praktek pembagian waris  angka asal masalah harus ditingkatkan sebesar angka bagian yang diterima ahli waris, karena apabila diselesaikan menurut ketentuan baku secara semestinya akan terjadi kekurangan harta.

2)        Al Radd, Masalah itu terjadi apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashhab al-furudh memperoleh bagiannya. Cara al-radd ditempuh untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris seimbang dengan bagian yang diterima masing-masing secara proporsional.

3)        Cara Gharawain, Masalah gharawain ini terjadi ketika ahli waris hanya terdiri dari suami atau istri, ibu dan bapak saja. Prinsip dasarnya adalah bahwa ibu menerima 1/3 dan bapak sisanya (2/3) dengan kata lain bagian laki-laki dua kali bagian perempuan (li al-dzakari misl hazhal-unsayain).

4)        Cara Musyarakah, Dalam hal waris terjadi apabila dalam pembagian warisan  terdapat suatu kejadian bahwa saudara-saudara sekandung (tunggal atau jamak)  sebagai ahli waris ‘ashabah tidak mendapat harta sedikit pun, karena telah dihabiskan ahli waris ashhab al-furudh.

 

B.       Pandangan Waris Dalam Hukum Adat

Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tata cara pelestarian/penerusan dan peralihan harta kekayaan pewaris baik yang bersifat material maupun non material/berwujud ataupu tidak berwujud dari satu generasi ke generasi yang lainnya. Sistem kewarisan dalam hukum adat ibarat pengoperan suatu benda waris dari satu keturunan ke keturunan yang lain, bisa dilakukan ketika pewaris masih hidup maupun sudah meninggal dunia.

            Sedangkan warisan sendiri menurut hukum waris adat bukan semata hal yang bersifat ekonomis seperti harta kekayaan berupa uang, rumah, mobil, dsb melainkan yang bersifat non ekonomis termasuk di dalamnya benda-benda pusaka yang memiliki kekuatan magis serta nilai-nilai kehormatan adat. Jenis-jenis harta warisan itu di antaranya :

a.         Ada yang berupa kedudukan/jabatan yang bersifat turun-temurun.

b.        Harta pusaka, terbagi menjadi harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pustaka tinggi adalah semua harta berwujud benda, benda tetap seperti bangunan, dan tanah, benda bergerak seperti perlengkapan pakaian adat dan perhiasan adat, alat senjata, alat-alat pertanian, perikanan, peternakan, jimat-jimat. Sedangkan yang berbentuk benda tidak berwujud adalah seperti ilmu-ilmu ghaib dan amanat-amanat pesan tertulis. Harta pusaka rendah adalah semua harta warisan yang juga tidak terbagi-bagi, yang berasal dari mata pencarian jerih payah kakek/nenek atau ibu/ayah dan kebanyakan tidak terletak di kampung asal.

c.         Harta bawaan, harta warisan yang berasal dari bawaan suami dan atau bawaan istri ketika melangsungkan perkawinan adalah harta bawaan. Jenis harta bawaan dapat berupa barang tetap atau barang bergerak.

d.        Harta pencarian, Harta pencarian adalah semua harta warisan yang berasal dari hasil jerih payah suami dan istri bersama selama dalam ikatan perkawinan.

e.         Biaya hutang yang masih ditagih.

f.         Wasiat, maksud wasiat disini adalah wasiat yang bukan untuk kepentingan ahli waris, dan jumlah keseluruhan wasiat adalah tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) dari jumlah keseluruhan harta peninggalan pewaris.

Sumber hukum kewarisan yang digunakan dalam hukum kewarisan adat (khususnya masyarakat Jawa) berasal dari Kitab Hukum Ciwasana oleh Raja Darma Wangsa, dan Kitab Hukum Gajah Mada dan penggantinya “Kanaka” yang memberi perintah membuat kitab hukum Adigama, di Bali Kitab Hukum Kutara Manawa. Untuk asas-asas yang dijadikan landasan di antaranya Asas ketuhanan dan pengendalian diri, asas kesamaan dan kebersamaan hak, asas kerukunan dan kekeluargaan, asas musyawarah dan mufakat, dan asas keadilan. Dari asas-asas tersebut selanjutnya ahli waris yang dikelompokkan dan berhak mendapatka harta waris ialah:

1.        keturunan pewaris.

2.        orangtua pewaris.

3.        Saudara-saudara pewaris atau keturunannya.

4.        Orang tua dari orang tua pewaris dan keturunannya.

Berbeda halnya dengan hukum kewarisan dalam islam, dalam kewarisan hukum adat harta waris bisa dibagikan atau dialihkan ketika pewaris masih hidup. Proses pewarisan ketika pewaris masih hidup dapat terjadi dengan berbagai cara berbeda, yaitu:

a)        Lintiran, yakni penerusan atau pengalihan harta waris ketika pewaris masih haidup dengan memberikan harta kekayaan tertentu sebagai dasar kebendaan meneruskan atau melangsungkan kehidupan anak turunnya untuk membangun rumah tangga.

b)        Acungan, pewaris memilih salah satu ahli waris untuk memanfaatkan harta waris. Namun dalam hal ini hanya sebatas pada kemanfaatannya untuk segi kepemilikan masih menjadi hak pewaris. Pemindah tanganan kepemilikan kepada ahli waris yang ditunjuk setelah pewaris wafat.

c)        Welingah/ Wekasan, dilakukan ketika pewaris sakit dan tidak bisa diharpkan lagi kehidupannya. Cara ini berlaku ketika ia benar benar meninggal atau berada di perjalanan jauh dan tak kunjung pulang. Jika tidak, maka maka cara ini dicabut.

Sedangkan cara pembagian harta waris ketika pewaris wafat ada dua cara, yaitu :

1)        Cara sapikul sagendhongan. Maksud dari ungkapan ini adalah bahwa laki-laki mendapatkan bagian warisan sapikul berbending sagendhongan dengan perempuan. Laki-laki mendapatkan bagian dengan perbandingan 2 : 1 dengan perempuan. Jadi di sini hukum kewarisan adat memiliki kesamaan dengan hukum kewarisan dalam islam di mana bagian anak laki-laki dua kali lipat dari perempuan.

2)        Cara dum dum kupat atau sigar semangka. Pembagian cara ini menggunakan asas persamaan, jadi semua bagian ahli waris itu sama tak memandang ia laki-laki atau perempuan atau ketentuan lainnya.

 

C.      Pandangan Waris Dalam Hukum Positif (Negara)

            Dalam hukum kewarisan perdata berlaku asas peralihan hak dan kewajiban secara seketika harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya. Ciri khas hukum waris perdata Barat atau BW antara lain: adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan. Hal itu berarti bila seseorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di pengadilan, maka tuntutan dimaksud, tidak dapat  ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Hal ini berdasarkan ketentuan pasal 1066 BW.

Sistem hukum waris BW/ perdata tidak mengenal harta asal dan harta perkawinan  atau harta gono gini. Sebab harta warisan dalam BW dari siapapun juga merupakan kesatuan yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan si peninggal harta atau pewaris kepada seluruh ahli warisnya. Hal ini berarti dalam sistem pembagian harta warisan dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar asal usul harta yang ditinggalkan. Hal ini berarti dalam sistem pembagian harta warisan dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar asal usul harta yang ditinggalkan oleh pewaris seperti yang  diungkapkan dalam pasal 849 BW, “undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari barang-barang dalam suatu harta peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya.

Dalam kitab undang-undang hukum perdata di Indonesia ada dua cara untuk mendapatkan harta warisan, yaitu:

a.         Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang (ab intestato)

b.        Karena seorang ditunjuk dalam surat wasiat (testamentair)

Seorang ahli waris menurut peraturan perundang-undangan yaitu istri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut peraturan undang-undang atau ahli waris ab intesto berdasarkan hubungan darah terdapat berapa golongan sebagai berikut :

1.        Golongan pertama adalah keluarga dalam garis lurus kebawah.

2.        Golongan kedua adalah keluarga dalam garis lurus ke atas. Dalam pembagian ahli waris ini mirip dengan pembagian ahli waris dalam hukum kewarisan islam.

Jika seorang pewaris tidak memiliki ahli waris, maka dalam KUH Perdata disebutkan istilah harta tidak terurus di mana dalam hal ini Balai Harta peninggalan (Wesskamer). Dalam mengurus harta itu Wesskamer harus memberikan pemberitahuan kepada pihak Pengadilan. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang melapor, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.

Sebagaimana dalam hukum kewarisan islam, dalam ketentuan pasal 838 KUH Perdata, juga terdapat ahli waris yang tidak berhak mewarisi harta, di antaranya:

a)        Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.

b)        Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.

c)        Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.

d)       Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.

 

D.      Menanggapi Persamaan Dan Perbedaan Dalam Perspektif Hukum Waris (Islam, Adat Dan Negara)

            Dari uraian di atas telah memberikan pandangan yang begitu jelas, bahwa antara perbedaan hukum kewarisan dalam hukum islam, hukum adat maupun hukum positif (negara). Ketiganya tidak selalu bertentangan melainkan masih ada beberapa sisi persamaan. Dalam hukum kewarisan islam, harta warisan dibagikan jika pewaris telah meninggal dunia. Itu pun harta yang dibagikan sudah bersih dari hutang dan segala hak yang masih melekat pada pewaris. Sedangkan dalam hukum waris adat maupun perdata, harta warisan bisa dibagikan sebelum pewaris meninggal dunia, yaitu ketika pewaris meninggalkan sebuah pesan/wasiat untuk pembagian harta yang ditujukan ketika ia meninggal esok.

Dalam hukum kewarisan islam, bagian ahli waris diperhitungkan secara terperinci sesuai bagiannya. Sedangkan dalam hukum kewarisan perdata pembagian itu secara merata. Selanjutnya dalam hukum kewarisan adat ada kesamaan mengenai pembagian harta dengan cara sapikul sagendhongan. Bagian perempuan separoh laki-laki.

Persamaan tersebut muncul karena didasarkan pada pola dan kebutuhan masyarakat yang universal. Dasar dari pembagian harta warisan ini terdapat latar belakang yang berbeda, sehingga hal ini disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis). Sama halnya dalam hukum kewarisan adat. Hanya saja hukum yang ada oleh pihak yang berwenang maupun yang melaksanakan untuk menuju pada kemaslahatan harus senantiasa didasarkan pada keadilan dan memanusiakan manusia (humanis). Karena adanya hukum tak lain adalah untuk meciptakan adanya kesejahteraan.

Oleh karena itu, dalam menanggapi perbedaan tersebut sikap kita adalah menghargai perbedaan itu. Karena dibalik perbedaan itu masih terdapat persamaan yang memiliki tujuan yang sama. Hukum kewarisan dalam islam juga ada pengkajiannya secara kontemporer yang belum di cantumkan. Di mana hukum itu selalu dinamis mengikuti perkembangan zaman. Karena didasarkan beberapa pertimbangan. Yang penting prinsipnya adalah mengambil hukum yang berorientasi pada keadilan dan kesejeahteraan ahli waris. Dan juga didasarkan pada kebiasaan dan adat yang terdapat pada keluarga masing-masing, agar tidak terjadi pertentangan atau bahkan permusuhan.

Posting Komentar

0 Komentar